SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTOKeterangan gambar,
Deputi Komunikasi 360 TPN Ganjar-Mahfud, Prabu Revolusi, membantah dugaan bahwa tim pemenangan Ganjar Pranowo memiliki kaitan dengan BIN.
Pengamat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan bahwa data intelijen berpotensi disalahgunakan untuk memenangkan suara di suatu daerah untuk calon tertentu.
Oleh karena itu, lembaga intelijen serta aparat keamanan perlu betul-betul mempertahankan netralitas.
Akan tetapi, Deputi Komunikasi 360 TPN Ganjar-Mahfud, Prabu Revolusi, membantah dugaan bahwa tim pemenangan Ganjar Pranowo memiliki kaitan dengan BIN. Ia juga tidak yakin dengan keaslian pakta integritas tersebut.
“Kami tidak pernah mendapatkan data intelijen sama sekali. Dan semua datanya dari mesin, dari big data yang bisa digunakan oleh siapapun dan calon manapun,” ungkapnya kepada BBC News Indonesia.
Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Puadi, mengatakan bahwa Bawaslu akan segera menelusuri kebenaran informasi tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) sekaligus cawapres Ganjar, Mahfud MD, mengatakan pakta itu terbit pada Agustus 2023. Saat itu pun, Ganjar belum resmi berstatus capres.
”Itu bulan Agustus, belum ada calon-calon resmi bahasanya,” kata Mahfud pada Selasa (14/11), kutip oleh Kompas.com.
Selain itu, ia juga mengatakan pakta integritas itu tidak mencoreng netralitas aparatur sipil negara.
Dalam pakta integritas yang beredar, Yan Piet Moso selaku Pj Bupati Sorong menyatakan sejumlah poin, antara lain siap mencari dukungan suara minimal 60%+1 di Kabupaten Sorong kepada Ganjar pada Pilpres 2024.
Pakta itu ditandatangani oleh Yan Piet Mosso dan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua Barat, Brigjen TNI TSP Silaban, pada Agustus 2023.
Pada Selasa (14/11), Yan Piet ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap terkait pengondisian temuan laporan pemeriksaan BPK.
Saat diperiksa oleh KPK, ia pun tidak menjawab pertanyaan soal pakta integritas yang beredar di publik.
Hadi Tausikal selaku kuasa hukum dari Yan Piet juga belum bisa berkomentar. Sebab, Hadi mengaku belum mendapatkan konfirmasi langsung dari Yan Piet yang saat ini masih diproses hukum oleh KPK.
“Intinya bahwa saya belum konfirmasi bersangkutan dengan klien saya. Jadi saya mau berkomentar apa yang saya komentar,” kata Hadi seperti dikutip detikcom, Selasa (14/11).
Seberapa besar potensi BIN ikut terlibat dalam pemilu?
Peneliti dan Koordinator klaster Konflik, Pertahanan, Keamanan Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP BRIN), Muhamad Haripin, mengatakan bahwa hubungan langsung Presiden dengan Kepala BIN memiliki risiko politisasi.
Ia merujuk pada kejadian pada September lalu, ketika Jokowi mengatakan pada acara relawan bahwa ia mengantongi data intelijen yang menunjukkan arah geraknya partai politik.
Meskipun data intelijen memang menjadi kewenangan presiden untuk mengakses, seharusnya data itu tidak digunakan untuk kepentingan politik. Haripin menyayangkan hal itu dan menyebutnya ‘penyalahgunaan intelijen‘.
“Intelijen sebagai garis pertama pertahanan dan keamanan nasional dalam konteks mengidentifikasi ancaman-ancaman keamanan nasional dari pihak eksternal maupun internal, bukan untuk kepentingan politik,“ katanya.
Hal tersebut, katanya, tertera dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
Jika memang BIN terbukti terlibat dalam mengintervensi proses pemilihan pemimpin negara, Haripin khawatir bahwa masyarakat akan mempertanyakan legitimasi dari hasil pemilu serta tak percaya lagi dengan lembaga intelijen yang seharusnya menjaga keamanan.
“Mungkin akan berujung pada ketidakpuasan masyarakat. Masyarakat merasa pemilunya tidak adil, dan ada ekspresi-ekspresi sosial politik yang lebih radikal dari masyarakat terkait hal itu,“ ujar Haripin.
Sementara, pengamat intelijen dari Center of Intelligence and Strategic Studies (CISS), Ngasiman Djoyonegoro, meragukan kebenaran dari pakta integritas yang beredar di tengah publik.
Sebab, menurut Ngasiman, isi dari pakta itu bertentangan dengan cara kerja intelijen.
“Untuk pemilu saya kira ruang gerak sangat terbatas karena pengawasan dari DPR dan tim intelijen sangat ketat. Jadi tidak mungkin ada penyalahgunaan data intelijen yang seperti kita dengar. Itu saya kira masih agak jauh,“ jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa penggunaan data intelijen dalam pemilihan umum merupakan isu yang sering digaungkan di ranah publik. Sebagai contoh, ia menyebut kasus ketika muncul dugaan bahwa intelijen Rusia ikut campur dalam pemilu AS 2016.
“Artinya sulit untuk membuktikan apakah hasil pemilu merupakan operasi intelijen atau tidak. Biasanya dugaan itu selalu berasal dari pihak yang kalah pemilu. Itu di mana-mana,“ tutur Ngasiman.
Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa semua institusi negara, baik BIN maupun TNI-Polri dan kejaksaan, perlu menjaga netralitas mereka agar dapat mempertahankan kepercayaan publik dalam mengawal pemilu.
“Sehingga kita betul-betul memulai proses pemilu yang berkualitas dan legitimate, seperti yang diharapkan para capres-cawapres ketika tadi malam melakukan undian nomor urut,“ ujarnya.
BBC News Indonesia telah berupaya mengubungi Juru bicara Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Purwanto, untuk mengonfirmasi tudingan tersebut namun hingga berita ini diterbitkan, yang bersangkutan belum memberi tanggapan.
Apakah data intelijen dapat digunakan capres untuk memenangkan pemilu?
Peneliti BRIN, Muhamad Haripin, menjelaskan bahwa data dari badan intelijen bisa saja digunakan untuk mengamankan suara di daerah tertentu bagi salah satu calon pasangan.
Ia menjelaskan bahwa tugas BIN di tingkat daerah adalah mengumpulkan data-data dan fakta tentang masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Oleh karena itu, mereka setidaknya mengetahui demografi masyarakat di suatu wilayah.
Data yang dimaksud, sambungnya, bisa mencakup kecenderungan politik, status ekonomi, dan data-data strategis lain yang bisa saja digunakan untuk memprofil masyarakat di daerah tersebut.
“Nanti bisa diolah lagi oleh tim kemenangan atau tim suksesnya untuk memetakan daerah-daerah yang mungkin belum terlalu pro dengan calonnya, sehingga dia bisa menggarap.
“Jadi ada masyarakat yang mungkin tidak pro, dan kemudian wilayah itu dikucurkan bantuan atau sembako dan sebagainya. Modal dasarnya adalah data-data itu,” kata Haripin.
“Apa yang terjadi saat itu adalah badan-badan intelijen di tingkat pusat maupun di tingkat daerah itu melakukan suatu mobilisasi massa agar mereka harus memenangkan dan memilih partai-partai tertentu,” katanya.
Dosen ilmu politik dari Universitas Indonesia, Aditya Perdana, mengatakan bahwa secara ideal, aparat keamanan memang bertugas untuk menjaga demokrasi. Sehingga, lembaga seperti BIN dan TNI-Polri tidak boleh berpihak pada calon manapun.
Namun, tidak dipungkiri jika data intelijen memang dapat diakses oleh presiden dan dapat digunakan untuk kepentingan nasional.
“Karena [mereka] akan berbicara soal konteks menyelamatkan bangsa negara dan segala macam, dan mereka punya otoritas dan kewenangan untuk itu,” sebut Aditya.
Meski begitu, ia juga memperingati bahwa dengan banyaknya lembaga aparat keamanan yang netralitasnya mulai dipertanyakan, publik juga tidak boleh mudah percaya dengan semua isu yang beredar terkait pemilu.
“Kami selalu mengingatkan publik, netralitas itu penting dan harus dijaga kemudian tidak hanya sekadar omongan. Perlu ada bukti konkret bahwa mereka tidak melakukan hal tersebut. Itu yang kita tunggu.”
Bagaimana tanggapan TPN Ganjar dan PDIP?
Deputi Komunikasi 360 TPN Ganjar-Mahfud, Prabu Revolusi, mengungkapkan bahwa pakta integritas yang mengandung tanda tangan dari Pj Bupati Sorong, Papua Barat dan Kabinda Papua Barat perlu dipertanyakan kebenarannya.
“Itu bisa sama-sama kita telaah lebih lanjut, saya tidak yakin BIN membuat komitmen dalam bentuk kertas yang bisa bocor atau ditemukan atau bagaimanapun,” kata Prabu kepada BBC News Indonesia.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa tim pemenangan Ganjar-Mahfud tidak memiliki hubungan dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan tidak pernah menggunakan data intelijen untuk kepentingan kampanye.
Kalaupun memang ada pakta integritas tersebut, ia mengatakan hal itu tidak melanggar hukum karena pada Agustus 2023 – tanggal yang tertera pada dokumen yang beredar – Ganjar belum resmi menjadi capres.
“Kalau tidak salah saya lihat tanggalnya, bulan Agustus belum ada capres-cawapres, jadi bagaimana nama Ganjar ada di dokumen itu perlu dipertanyakan,” ujar Prabu.
Senada, politikus Partai Demokrasi Indonesia (PDIP), Bambang Wuryanto, mengatakan bahwa pakta integritas itu belum dapat dipastikan kebenarannya.
Maka, ia sendiri tidak bisa berkomentar tentang barang yang belum terkonfirmasi.
“Surat itu resmi atau tidak resmi? Belum diklarifikasi,” kata Bambang, seperti dikutip oleh Tempo pada Rabu (15/11).